Saturday, August 26, 2023

Semester Baru

Semester baru Ganjil mulai lagi sejak Senin 21 Agustus lalu. Walaupun tidak setiap minggu (karena mengajar dalam team), tetapi total kelas yang akan saya masuki adalah 16 kelas. Ini lah jadwal saya. Saya letak di sini supaya saya juga ingat.

1. Hari : Senin Jam : 18:00 - 20:40 WIBSPI1306 - Teori Hubungan Internasional Kelas : A3 Ruang Kuliah 101 gedung GEDUNG A FISIP

2. Hari : Selasa Jam : 06:00 - 08:40 WIBSPI1306 - Teori Hubungan Internasional. Kelas : A1Ruang : Ruang Kuliah 101 gedung GEDUNG A FISIP

3. Hari : Selasa Jam : 12:30 - 15:10 WIBMIA2101 - Filsafat Ilmu (S2).Kelas : Ruang : RUANG KULIAH PASCA 111 gedung GEDUNG D FISIP

4. Hari : Selasa Jam : 16:10 - 17:50 WIBSPI1202 - Teknik Penulisan Ilmiah Kelas : A1 Ruang : Ruang Kuliah 102 gedung GEDUNG A FISIP

5. Hari : Rabu Jam : 08:50 - 11:30 WIBSPI1419 - Gastrodiplomasi Kelas : A1 Ruang : Ruang Kuliah 101 gedung GEDUNG A FISIP

6. Hari : Rabu Jam : 13:20 - 16:00 WIBSPI1306 - Teori Hubungan Internasional Kelas : A2 Ruang : Ruang Kuliah 101 gedung GEDUNG A FISIP

7. Hari : Kamis Jam : 06:00 - 08:40 WIBSPI1419 - Gastrodiplomasi Kelas : A3 Ruang : Ruang Kuliah 103 gedung GEDUNG A FISIP

8. Hari : Kamis Jam : 13:20 - 16:00 WIBSPI1565 - Metodologi Hubungan Internasional .Kelas : A1
Ruang : Ruang Kuliah 102 gedung GEDUNG A FISIP

9. Hari : Kamis Jam : 18:00 - 20:40 WIBSPI1419 - Gastrodiplomasi Kelas : A4
Ruang : RUANG KULIAH 02 gedung GEDUNG IsDB FISIP

10. Hari : Kamis Jam : 18:00 - 20:40 WIBSPI1566 - Teori Politik Luar Negeri Kelas : A3
Ruang : RUANG KULIAH 107 gedung GEDUNG B FISIP

11. Hari : Jum'at Jam : 06:00 - 08:40 WIBSPI1565 - Metodologi Hubungan Internasional. Kelas : A2
Ruang : Ruang Kuliah 101 gedung GEDUNG A FISIP

12. Hari : Jum'at Jam : 06:00 - 08:40 WIBSPI1566 - Teori Politik Luar Negeri Kelas : A1
Ruang : RUANG KULIAH 107 gedung GEDUNG B FISIP

13. Hari : Jum'at Jam : 08:50 - 11:30 WIBSPI1419 - Gastrodiplomasi Kelas : A2
Ruang : Ruang Kuliah 103 gedung GEDUNG A FISIP

14. Hari : Jum'at Jam : 13:20 - 16:00 WIBSPI1566 - Teori Politik Luar Negeri Kelas : A2
Ruang : RUANG KULIAH 107 gedung GEDUNG B FISIP

15. Hari : Jum'at Jam : 15:10 - 17:50 WIBPSDIA01 - Filsafat Ilmu Pengetahuan Kelas : PSDIA
Ruang : RUANG KULIAH PASCA 220 gedung GEDUNG D FISIP

16. Hari : Jum'at Jam : 18:00 - 20:40 WIBSPI1565 - Metodologi Hubungan Internasional. Kelas : A3
Ruang : Ruang Kuliah 103 gedung GEDUNG A FISIP

Jurusan kami pada tahun 2023 ini menerima sekitar 140 mahasiswa baru.

Monday, March 09, 2020

Menanti Akhir Kemelut Politik Malaysia

 Oleh A. EBY HARA
KEMELUT politik di Malaysia, agaknya, segera mereda. Ternyata ia tidak sedramatis yang dikhawatirkan banyak orang. Perdana Menteri (PM) Interim Mahathir Mohamad makin mendapat dukungan yang luas untuk tetap menjadi PM. Dalam beberapa hari ini, pemerintahan baru segera terbentuk, walaupun bentuknya belum jelas apakah pemerintahan persatuan melibatkan semua partai.
https://www.jawapos.com/opini/27/02/2020/menanti-akhir-kemelut-politik-malaysia/

Thursday, February 06, 2020

Provokasi Tiongkok, Tes Kebersamaan ASEAN


Oleh A. Eby Hara - 
PELANGGARAN wilayah laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara oleh Tiongkok memicu kekhawatiran munculnya eskalasi konflik yang lebih besar antara kedua negara. Laporan berbagai media menggambarkan bahwa konflik itu menyangkut pertarungan kedaulatan dan integritas Indonesia yang mesti dihadapi dengan serius.

Thursday, January 30, 2020

Telah Terbit Buku Baru... Diplomasi Publik: Memenangkan Hati dan Pikiran

BAB 1 PENDAHULUAN

Buku ini berangkat dari pemikiran tentang masih kurangnya buku yang membahas Diplomasi Publik (DP) di Indonesia. Beberapa tulisan tentang DP memang bisa ditemui di jurnal-jurnal dan laporan media Indonesia, namun belum ada yang ditulis secara komprehensif dalam sebuah buku. Sejauh ini kami melihat hanya ada tiga buku tentang diplomasi publik. Dua buku berusaha meninjau Diplomasi Publik, satu ditulis oleh akademisi (Rachmawati, 2018) dan satunya oleh praktisi (Basnur, 2018). Satu lagi buku membahas Diplomasi Publik Jepang (Effendi, 2011). Hal ini cukup memprihatinkan karena dalam perkembangan dunia dan dalam studi Hubungan Internasional (HI). DP merupakan salah satu andalan diplomasi yang sudah lama di dunia internasional. Apalagi dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi digital, DP menjadi cara yang mudah untuk memperkenalkan dan meningkatkan citra bangsa dimata dunia internasional.
Salah satu alasan kurangnya perhatian pada DP adalah masih dominannya perspektif realis dalam studi Hubungan Internasional di Indonesia. Perhatian terhadap DP itu masih rendah karena umumnya para akademisi dan mahasiswa lebih terbiasa dan senang mengalisis masalah-masalah konflik, perang dan damai antar negara yang dianggap lebih urgent dan mengancam. Dunia yang masih sering bergolak di Timur Tengah, Asia Timur dan juga sebagian Eropa Timur menjadi ladang subur bagi kajian realisme dimana penggunaan senjata atau hard power masih dominan.
Sementara itu, kajian DP yang umumnya mengandalkan analisis tentang soft power dan bagaimana mempromosikannya sebagai bagian dari citra diri dan identitas ke dunia internasional, dalam dunia demikian, masih dipandang kurang relevan bahkan tidak berguna. Dengan kata lain kajian DP masih menempati posisi marjinal dalam studi HI di Indonesia.
Berangkat dari keresahan demikian buku ini mencoba memperkenalkan dan menguraikan apakah DP itu, bagaimana asal usulnya, bagaimana fungsinya dan mengapa studi terhadap DP perlu dilakukan. Sebagian dunia memang masih diliputi perang namun sebagian lain mulai meninggalkan perang dan bahkan semua negara berusaha untuk menampilkan citra dirinya yang baik dan pendukung perdamaian di dunia internasional. Bahkan negara-negara yang terlibat perang sekalipun, tetap menggunakan DP ke dunia. Mereka tanpa dirasakan oleh masyarakat internasional seolah-olah menampilkan citra dirinya yang baik dibalik topeng kerakusan untuk menguasai dunia.
Dalam bab pendahuluan ini, kami ingin membahas lebih lanjut mengapa DP menjadi semakin penting di dunia internasional. Apa yang dimaksudkan dengan DP, bagaimana asal usulnya dan apa strategi yang dipakai dalam DP. Bab ini dibagi dalam dua bagian. Pertama, kami akan membahas apa yang dimaksud DP dan asal usulnya. Kedua berisi uraian singkat bab-bab dalam buku ini. Sebagian materi dalam bab pendahuluan ini diambil dari tulisan Jan Melissen, ‘The New Public Diplomacy: Between Theory and Practice’ (Melissen, 2005).

Asal Usul dan Makna Diplomasi Publik

Kegiatan DP sebetulnya sudah lama dilakukan oleh negara-negara karena tidak ada negara di dunia yang ingin negaranya atau pemerintahannya terlihat buruk di mata dunia. Sejak zaman dulu, negara-negara meyakinkan dunia akan kemajuan dan keunggulan sistem negaranya dibanding negara lain. Bahkan dalam Perang Dingin, walaupun terjadi apa yang disebut dengan arm race, blok Uni Soviet dan Amerika juga menampilkan citra diri tentang jalan pembangunan dan sistem politik yang tepat dan mestinya diikuti oleh negara-negara lain.
Dalam konteks demikian tidak salah kiranya kalau DP dikatakan, ketika saat ini menjadi sorotan kembali, sebagai new wine in the old bottle. Dulu mungkin cara-cara DP dilakukan tidak secanggih sekarang. Kadangkala negara-negara itu melakukan propaganda yang dianggap buruk dan intimidatif. Sementara sekarang caranya semakin canggih dan halus. Karena itulah orang seringkali menyebut apa yang dilakukan oleh rezim Uni Soviet sebagai propaganda karena mereka ingin mengekspor ajaran komunis ke seluruh dunia. Istilah propaganda dalam konteks demikian seringkali mempunyai konotasi negatif. Namun dikemudian hari kita menyadari negara mana yang sesungguhnya tidak melakukan propaganda ke dunia internasional. Semua negara ingin menunjukkan dirinya sebagai negara pencinta damai, pendukung demokrasi dan negeri yang layak untuk dikunjungi. Mereka berusaha ‘memenangkan hati dan pikiran’ orang lain agar menyukai bahkan mengikuti pelbagai model negara mereka.
Upaya awal untuk menciptakan image dan identitas negara yang dicatat dalam pembahasan DP adalah di Eropa abad ke 17. Perancis terutama dibawah Louis XIV memanfaatkan penemuan media cetak untuk mengirim pelbagai berita tentang keistimewaan negaranya melalui saluran diplomatik. Ini kemudian terus berlanjut. Pada masa sebelum Perang Dunia Pertama, Presiden Amerika Serikat (AS) Woodrow Wilson dan pemimpin Uni Soviet Josef Stalin sudah bersaing untuk memperjuang nilai dan values yang seharusnya bagi dunia internasional. Negara lain yang dicatat ingin mengubah citra dirinya bahkan secara dramatis adalah Turki di bawah Mustafa Kemal Atatürk. Upayanya cukup berhasil sehingga membuat negara ini setidaknya menjadi agenda dalam pembicaraan di Uni Eropa (Melissen, 2005). Walaupun demikian perhatian secara sistematis kepada DP terutama dilakukan setelah peristiwa 9/11 di Amerika. Amerika perlu menampilkan citra diri yang lebih baik ke dunia Islam dan menggalang kekuatan melawan terorisme.
Perbedaan antara diplomasi tradisional dengan DP adalah cukup jelas. Diplomasi tradisional berpusat pada hubungan antara wakil-wakil resmi negara dan aktor internasional lainnya, sementara dalam DP aktornya bisa negara dan bisa juga masyarakat sipil. Dalam pengertian tradisional, diplomasi menekankan pentingnya negosiasi untuk menyelesaikan masalah secara damai melalui para wakil resmi negara. Itulah yang banyak dilakukan baik secara bilateral maupun dalam forum-forum multilateral yaitu untuk mengelola hubungan internasional dengan perundingan dalam pelbagai konfrensi atau pertemuan. Target dari DP adalah masyarakat umum di negara lain atau lebih khusus lagi kelompok-kelompok tertentu dan individu-individu tertentu di negara lain. Kita ingin menampilkan citra diri kita ke luar, yang dalam hal tertentu juga mengharuskan kita memperbaiki citra diri itu ke dalam.
Dalam pengertian tradisional orang sering melihat keberhasilan diplomasi terjadi bila negara berhasil memenangkan posisi di forum-forum internasional, misalnya dulu untuk memenangkan posisi Indonesia atas Timor-Timur di PBB. Sebaliknya kegagalan terjadi bila diplomasi gagal memperjuangkan posisi itu. Bila para diplomat gagal memperjuangkan kedaulatan Indonesia atas Timor Timur di PBB, maka negara akan dianggap kalah dan kehilangan muka. Pandangan demikian pada satu sisi memang penting, tapi menyalahkan para diplomat atas kegagalan itu tidak lagi fair. Dunia menjadi sangat kompleks dewasa ini. Para aktor tidak memiliki kontrol terhadap banyak hal di lingkungan internasionalnya seperti yang mereka inginkan. Yang dihadapi oleh para diplomat bukan hanya diplomat resmi di negara lain tetapi pelbagai jenis masyarakat baik yang terlibat dalam kegiatan diplomasi resmi atau pun tidak. Mereka harus meyakinkan audience ini dan tugas itu pun tidak bisa hanya diberikan ke para diplomat saja. Harus ada kerjasama atau kolaborasi dengan pelbagai pihak yang relevan. Dari sini lah kemudian diperlukan apa yang kita kenal dengan Diplomasi Publik.
Beberapa definisi yang diberikan kepada DP menekankan tentang upaya meyakinkan orang-orang di negara lain tentang nilai dan kepentingan suatu negara (Sharp, 2005: 106-123). Ini meliputi upaya pemerintah, seperti dikatakan oleh Hans Tuch, untuk mengkomukasikan kepada publik asing tentang cita-cita dan ide-ide, kelembagaan dan budaya serta tujuan dan kebijakan nasional dari negara satu negara ke negara lainnya (Melissen, 2005: 12). Beberapa ciri dari DP yang penting adalah pertama ia beroperasi dalam lingkungan jaringan bukan dalam sistem state centric yang hirarkis. Kedua, target dari DP adalah publik di luar negeri, bukan public affairs seperti di dalam negeri sehingga memerlukan cara yang berbeda. Ketiga DP bukan lah komunikasi satu arah memasarkan informasi ke orang asing dan ke media asing, tetapi meliputi proses melibatkan (engaging) audien asing. Contoh yang baik adalah ‘niche diplomacy’ yang dilakukan Norwegia dan Kanada.
Tujuan DP adalah jangka panjang, namun seringkali orang terjebak pada tujuan jangka pendek agar pemimpin politik di negara target membuat keputusan yang mendukung tujuan politik luar negeri kita. Dalam DP mungkin ini dilihat terlalu ambisius. Karena itu lah kadang-kadang DP tidak perlu dikaitkan secara erat dengan target-target politik luar negeri jangka pendek, tetapi untuk jangka menengah dan panjang. Tujuan DP adalah untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas, dan mempengaruhi lingkungan perdebatan politik yang favorable untuk negara kita.
Timbul pertanyaan juga tentang apakah DP sama dengan propaganda. Hal ini susah dibedakan karena sebagian tujuan propaganda sama dengan tujuan DP yaitu untuk mempengaruhi opini audien melalui transmisi ide dan nilai-nilai (Melissen, 2005: 17). Namun propaganda secara historis mempunyai kesan negatif, manipulatif, menipu dan memaksa dalam mempengaruhi opini orang. Seperti akan dijelaskan di Bab II kesan negatif dari propaganda muncul karena ia dalam sejarahnya digunakan oleh Nazi dan Komunis. DP juga sedikit berbeda dengan nation branding dalam hal cakupan kegiatannya. Nation branding mempunyai tujuan khusus dan mempunyai target yang jelas. Sementara DP lebih luas dan belum tentu mepunyai target yang lebih spesifik. Walau demikian kegiatan re-branding diharapkan dapat membangun identitas suatu negara paralel dengan kegiatan DP.
DP merupakan fenomena baru namun pentingnya semakin disadari oleh banyak negara terutama dengan bermunculannya budaya-budaya pop yang menguasai dunia dan pelbagai kegiatan budaya, sosial dan politik masyarakat di negara lain yang berimplikasi pada negara kita. Para diplomat dengan perkembangan demikian harus menyesuaikan diri dan tidak lagi hanya bisa memainkan peran diplomasi tradisional. Kegiatan masyarakat di negara lain ini tidak bisa diatasi hanya dengan diplomasi tradisional. Kegiatan mereka ini bisa jadi sangat merugikan misalnya kegiatan gerakan separatis, gerakan HAM dan gerakan pro lingkungan hidup yang didukung di suatu negara jelas merugikan negara kita. Kemunculan soft power dalam HI merupakan tes bagi kemampuan para diplomat ini (Melissen, 2005: 25).

Struktur Buku

Buku ini terdiri atas enam Bab yaitu Bab 1 Pendahuluan; Bab 2 Diplomasi; Bab 3 Diplomasi Publik; Bab 4 Diplomasi Budaya; Bab 5 Paradiplomasi; Bab 6 Diplomasi Ilmu Pengetahun. Pembagian Bab ini mungkin tidak mewakili keseluruhan kasus Diplomasi Publik. Kami sengaja memilih kasus Diplomasi yang diluar mainstream Kajian Diplomasi Publik pada umumnya karena menurut pandangan kami kasus-kasus ini sangat penting, namun hilang dari perhatian kalangan akademik dan mahasiswa. Diplomasi Budaya, Paradiplomasi dan Diplomasi Ilmu Pengetahuan yang kami bahas dalam buku ini dianggap tidak mainstream tetapi kepentingannya sejak lama sangat signifikan. Berikut ini adalah ringkasan bab per bab dalam buku ini.
Bab 1 Pendahuluan berisi beberapa definisi dasar tentang Diplomasi Publik, asal usul dan perkembangannya dan uraian mengapa DP ini penting dalam studi HI Kontemporer.
Pada Bab 2 Diplomasi, kami membicarakan dasar-dasar dan pekembangan Diplomasi dalam Studi Hubungan Internasional yang sangat penting bagi para penstudi HI. Kami sengaja menguraikan secara lebih rinci perspektif Diplomasi untuk memberikan gambaran kontinuitas dan perubahan dalam Diplomasi. Dalam Bab ini perkembangan itu tidak hanya menyangkut teori tetapi juga aktor-aktor yang terlibat dan perkembangan diplomasi yang asalnya hanya dilakukan oleh negara sehingga kini dilakukan oleh banyak aktor lain. Dengan kata lain ada perkembangan ke arah diplomasi multi jalur. Perkembangan ke arah diplomasi multi-jalur (multi-track diplomacy) ini menyebabkan banyaknya aktor termasuk publik untuk terlibat dalam diplomasi yang kemudian dikenal dengan istilah Diplomasi Publik.
Pada Bab 3, tentang Diplomasi Publik, kami berusaha menunjukkan keterbatasan Diplomasi tradisional yang menggunakan hard power dan perubahan orientasi negara-negara ke arah pentingnya soft power. Soft power ini dapat diperkuat kalau negara-negara menggunakan DP untuk mewujudkannya. Dalam Bab 2 ini kami juga membahas perkembangan diplomasi publik dan perspektif teoritik yang umum dipakai dalam pelaksanaan diplomasi publik tersebut. Kami juga membahas perbedaan mendasar antara Diplomasi dan Propaganda. Selain dari itu diuraikan juga perbedaan Diplomasi Publik antara model Amerika, Eropa dan Asia.
Pada bab 4 kami membahas Diplomasi Budaya. Pada umumnya diplomasi budaya menekankan pertukaran produk-produk budaya seperti kuliner, seni musik, fesyen dan tari-tarian. Dalam bab ini kami menjelaskan bahwa Diplomasi Budaya merupakan bagian dari Diplomasi Publik yang tidak sekedar pertukaran kesenian, tetapi juga menyangkut upaya untuk mengkomunikasikan pemikiran, penelitian, jurnalisme dan wacana antara satu negara dengan yang lainnya. Diplomasi Budaya karena itu berupaya membangun kedekatan hubungan budaya dan informasi berkenaan dengan realitas sosial, ekonomi dan politik antar dua atau lebih negara.
Dalam Bab 5 kami mendiskusikan Paradiplomasi, suatu istilah diplomasi yang masih belum begitu popular bagi mahasiswa. Paradiplomasi adalah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya program otonomi dan keperluan daerah yang spesifik. Paradiplomasi tidak menimbulkan masalah bila sejalan dengan diplomasi pusat, tetapi akan ada peninjauan bilamana ia melanggar otoritas pemerintah pusat. Kegiatan paradiplomasi misalnya menghasilkan sister city dan province city. Dalam level yang lebih tinggi, pemerintah-pemerintah daerah dari negara yang berbeda bisa bersatu untuk menggolkan kebijakan nasional misalnya tentang perubahan iklim yang tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah pusat.
Bab 6 membahas Diplomasi Ilmu Pengetahuan (DIP). Ini juga bagian dari Diplomasi Publik yang menempati posisi marjinal dalam diplomasi tradisional. Banyak orang sangat optimis bila DIP dilakukan, maka ia akan mengatasi pelbagai permasalahan manusia seperti kesehatan, kemiskinan, kekurangan air dan makanan. Hal ini dimungkinkan dalam dunia kosmpolitan dimana kepedulian orang tidak lagi pada negara tetapi pada kemanusiaan global. Dalam bab ini kami juga mengingatkan bahwa ada sisi negatif dari DIP ketika ia dijalankan oleh negara-negara untuk memperkuat teknologi persenjataan mereka yang makin hari makin canggih dan bisa memusnahkan seperti senjata nuklir. Selain itu DIP digunakan oleh negara-negara untuk tetap menguasai teknologi dengan misalnya memasukkan International Property Right (IPR) ke dalam kerangka perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tindakan itu akan terus membuat terjadinya disparitas antara negara maju dan negara berkembang.
Keseluruhan enam bab tulisan ini diharapkan akan membantu mahasiswa dan para peminat studi HI untuk memahami lebih lanjut peranan Diplomasi Publik dalam kegiatan internasional suatu negara. Diplomasi Publik menjadi bagian yang sangat penting karena kemajuan teknologi komunikasi dimana masyarakat di negara lain mendapat informasi tentang negara kita dengan cepat. Mereka pun memberi reaksi bermacam-macam terhadap perkembangan di Indonesia dari yang radikal misalnya menolak satu kasus dengan melakukan demonstrasi sampai dengan yang mendukung. Keberhasilan menggunakan Diplomasi Publik akan meningkatkan soft power suatu negara dalam hubungan dengan negara lain. DIP misalnya akan memperkuat soft power suatu negara di bidang pendidikan dan budaya. Negara itu akan menjadi rujukan dalam hal pengetahuan, meningkatkan potensi kerjasama dan mengundang para pakar dan penstudi untuk belajar di negara tersebut.

Sunday, November 17, 2019

The Failure of Islamic Populism: The Case of Indonesia’s 2019 Election

Sumber foto: RMOL.id https://hukum.rmol.id/read/2017/04/03/286319/1/Skenario-Terburuk-Al-Khaththath-Cs-Duduki-Gedung-DPR,-Terobos-Pintu-Belakang?page=2  
Artikel bisa didonlod di https://www.atlantis-press.com/proceedings/aicosh-19/125916033 Authors
Abubakar Eby Hara, Agus Trihartono
This paper attempts to discuss the failure of Islamic populism in Indonesia. In the 2019 general election, populist jargons departing from Islamic teachings was used in the campaign to win the election. Islamic populist jargons are generally interpreted as an effort to voice the pure voice of the people, called the ummah, to fight a tyrannical regime which is sometimes also considered secular, corrupt and anti-Islamic. These jargons are mainly used by supporters of the opposition candidate Prabowo Subianto to defeat the incumbent President Joko Widodo. From the results of the General Election, the influence of Islamic populism, however, is very limited. In this paper, we argue that the failure of Islamic populism is due to three things, first, the support for the democratic process is still quite strong. Secondly, Islamic populism used by the Prabowo group is not part of mainstream Islam in Indonesia. Thirdly, in a long historical context, Islamic populism is always contestable in Indonesian politics so that its influence in politics is always debatable. To discuss this issue, this paper traces various campaign themes of the two Presidential candidates in various media and uses of statistical data from a national survey institution.

Saturday, November 16, 2019

Populism in Indonesia and its Threats to Democracy

Picture source: https://www.fairobserver.com/politics/democracy-crisis-elections-populism-donald-trump-latest-world-news-34942/  Paper can be downloaded at https://www.atlantis-press.com/proceedings/icsps-17/25891343 Author: Abubakar Eby Hara Abstract
This paper discusses the emergence of populist movements in Indonesia and its influence on Indonesian democracy. As in some democratic countries, populism also becomes one of Indonesia's political traits. Although not exactly the same as the general models of populism in the West, Indonesian populist figures such as Joko Widodo and Prabowo Subianto have enough political appeal. Both use populist style in 2014 presidential election. Another less known populist movement is Islamic populism that has long historical roots and sticking to the 2017 Jakarta Gubernatorial election. In contrast to the extreme right and left populists in Europe and Latin America, the Indonesian populist tradition is new, not yet having a clear program and divided. In this context, populism has not threatened democracy even it can channel people direct interests. Nevertheless, in the long run the potential threat of populism to democracy cannot be underestimated primarily because of the authoritarianism tendency in populist figures to challenge democracy principles. Similarly, massive populist campaigns can strengthen the formation of group identity that disrupts the social relations in society.

Friday, November 15, 2019

Interview with Revista Mundorama - The struggle for upholding human rights through the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR): Some Barriers and Prospects

Ten years ago, ASEAN established the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), a Commission similar to the Inter-American Commission on Human Rights (IACHR) in America. If ASEAN is much appreciated as one of the most successful regional organizations after the European Union, it is not the case with the enforcement of human rights. AICHR still lags behind the IACHR in terms of, for example, protecting human rights. Both organizations have acknowledged universal human rights principles and norms, but the IACHR has American Court to address various human rights violations, while the AICHR does not have the same institution because its member countries are still worried about other members’ interference in their domestic matters. Discussing the issue of human rights violations in other member countries is still often considered a taboo, so human rights issues are not addressed properly. 
Cite this article as: Editoria Mundorama, "The struggle for upholding human rights through the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR): Some Barriers and Prospects, by Abubakar Eby Hara," in Revista Mundorama, 12/08/2019, https://mundorama.net/?p=25812.

Semester Baru

Semester baru Ganjil mulai lagi sejak Senin 21 Agustus lalu. Walaupun tidak setiap minggu (karena mengajar dalam team), tetapi total kelas y...