Buku ini berangkat dari pemikiran tentang masih
kurangnya buku yang membahas Diplomasi Publik (DP) di Indonesia. Beberapa
tulisan tentang DP memang bisa ditemui di jurnal-jurnal dan laporan media
Indonesia, namun belum ada yang ditulis secara komprehensif dalam sebuah buku.
Sejauh ini kami melihat hanya ada tiga buku tentang diplomasi publik. Dua buku
berusaha meninjau Diplomasi Publik, satu ditulis oleh akademisi (Rachmawati, 2018) dan satunya oleh praktisi (Basnur, 2018). Satu lagi buku membahas
Diplomasi Publik Jepang (Effendi, 2011). Hal ini cukup memprihatinkan
karena dalam perkembangan dunia dan dalam studi Hubungan Internasional (HI). DP
merupakan salah satu andalan diplomasi yang sudah lama di dunia internasional.
Apalagi dalam dunia yang dikuasai oleh teknologi digital, DP menjadi cara yang
mudah untuk memperkenalkan dan meningkatkan citra bangsa dimata dunia
internasional.
Salah satu
alasan kurangnya perhatian pada DP adalah masih dominannya perspektif realis
dalam studi Hubungan Internasional di Indonesia. Perhatian terhadap DP itu
masih rendah karena umumnya para akademisi dan mahasiswa lebih terbiasa dan
senang mengalisis masalah-masalah konflik, perang dan damai antar negara yang
dianggap lebih urgent dan mengancam. Dunia yang masih sering bergolak di
Timur Tengah, Asia Timur dan juga sebagian Eropa Timur menjadi ladang subur
bagi kajian realisme dimana penggunaan senjata atau hard power masih dominan.
Sementara
itu, kajian DP yang umumnya mengandalkan analisis tentang soft power dan
bagaimana mempromosikannya sebagai bagian dari citra diri dan identitas ke
dunia internasional, dalam dunia demikian, masih dipandang kurang relevan
bahkan tidak berguna. Dengan kata lain kajian DP masih menempati posisi
marjinal dalam studi HI di Indonesia.
Berangkat
dari keresahan demikian buku ini mencoba memperkenalkan dan menguraikan apakah
DP itu, bagaimana asal usulnya, bagaimana fungsinya dan mengapa studi terhadap
DP perlu dilakukan. Sebagian dunia memang masih diliputi perang namun sebagian
lain mulai meninggalkan perang dan bahkan semua negara berusaha untuk
menampilkan citra dirinya yang baik dan pendukung perdamaian di dunia internasional.
Bahkan negara-negara yang terlibat perang sekalipun, tetap menggunakan DP ke
dunia. Mereka tanpa dirasakan oleh masyarakat internasional seolah-olah
menampilkan citra dirinya yang baik dibalik topeng kerakusan untuk menguasai
dunia.
Dalam bab
pendahuluan ini, kami ingin membahas lebih lanjut mengapa DP menjadi semakin
penting di dunia internasional. Apa yang dimaksudkan dengan DP, bagaimana asal
usulnya dan apa strategi yang dipakai dalam DP. Bab ini dibagi dalam dua
bagian. Pertama, kami akan membahas apa yang dimaksud DP dan asal usulnya.
Kedua berisi uraian singkat bab-bab dalam buku ini. Sebagian materi dalam bab
pendahuluan ini diambil dari tulisan Jan Melissen, ‘The New Public Diplomacy: Between Theory and Practice’ (Melissen, 2005).
Kegiatan DP sebetulnya sudah lama dilakukan oleh
negara-negara karena tidak ada negara di dunia yang ingin negaranya atau
pemerintahannya terlihat buruk di mata dunia. Sejak zaman dulu, negara-negara meyakinkan
dunia akan kemajuan dan keunggulan sistem negaranya dibanding negara lain.
Bahkan dalam Perang Dingin, walaupun terjadi apa yang disebut dengan arm
race, blok Uni Soviet dan Amerika juga menampilkan citra diri tentang jalan
pembangunan dan sistem politik yang tepat dan mestinya diikuti oleh
negara-negara lain.
Dalam
konteks demikian tidak salah kiranya kalau DP dikatakan, ketika saat ini
menjadi sorotan kembali, sebagai new wine
in the old bottle. Dulu mungkin cara-cara DP dilakukan tidak secanggih
sekarang. Kadangkala negara-negara itu melakukan propaganda yang dianggap buruk
dan intimidatif. Sementara sekarang caranya semakin canggih dan halus. Karena
itulah orang seringkali menyebut apa yang dilakukan oleh rezim Uni Soviet
sebagai propaganda karena mereka ingin mengekspor ajaran komunis ke seluruh
dunia. Istilah propaganda dalam konteks demikian seringkali mempunyai konotasi
negatif. Namun dikemudian hari kita menyadari negara mana yang sesungguhnya
tidak melakukan propaganda ke dunia internasional. Semua negara ingin
menunjukkan dirinya sebagai negara pencinta damai, pendukung demokrasi dan
negeri yang layak untuk dikunjungi. Mereka berusaha ‘memenangkan hati dan pikiran’
orang lain agar menyukai bahkan mengikuti pelbagai model negara mereka.
Upaya awal
untuk menciptakan image dan identitas
negara yang dicatat dalam pembahasan DP adalah di Eropa abad ke 17. Perancis
terutama dibawah Louis XIV memanfaatkan penemuan media cetak untuk mengirim pelbagai
berita tentang keistimewaan negaranya melalui saluran diplomatik. Ini kemudian
terus berlanjut. Pada masa sebelum Perang Dunia Pertama, Presiden Amerika Serikat
(AS) Woodrow Wilson dan pemimpin Uni Soviet Josef Stalin sudah bersaing untuk
memperjuang nilai dan values yang
seharusnya bagi dunia internasional. Negara lain yang dicatat ingin mengubah
citra dirinya bahkan secara dramatis adalah Turki di bawah Mustafa Kemal
Atatürk. Upayanya cukup berhasil sehingga membuat negara ini setidaknya menjadi
agenda dalam pembicaraan di Uni Eropa (Melissen, 2005). Walaupun demikian perhatian
secara sistematis kepada DP terutama dilakukan setelah peristiwa 9/11 di
Amerika. Amerika perlu menampilkan citra diri yang lebih baik ke dunia Islam
dan menggalang kekuatan melawan terorisme.
Perbedaan
antara diplomasi tradisional dengan DP adalah cukup jelas. Diplomasi
tradisional berpusat pada hubungan antara wakil-wakil resmi negara dan aktor
internasional lainnya, sementara dalam DP aktornya bisa negara dan bisa juga
masyarakat sipil. Dalam pengertian tradisional, diplomasi menekankan pentingnya
negosiasi untuk menyelesaikan masalah secara damai melalui para wakil resmi
negara. Itulah yang banyak dilakukan baik secara bilateral maupun dalam
forum-forum multilateral yaitu untuk mengelola hubungan internasional dengan
perundingan dalam pelbagai konfrensi atau pertemuan. Target dari DP adalah
masyarakat umum di negara lain atau lebih khusus lagi kelompok-kelompok
tertentu dan individu-individu tertentu di negara lain. Kita ingin menampilkan
citra diri kita ke luar, yang dalam hal tertentu juga mengharuskan kita
memperbaiki citra diri itu ke dalam.
Dalam
pengertian tradisional orang sering melihat keberhasilan diplomasi terjadi bila
negara berhasil memenangkan posisi di forum-forum internasional, misalnya dulu
untuk memenangkan posisi Indonesia atas Timor-Timur di PBB. Sebaliknya
kegagalan terjadi bila diplomasi gagal memperjuangkan posisi itu. Bila para
diplomat gagal memperjuangkan kedaulatan Indonesia atas Timor Timur di PBB, maka
negara akan dianggap kalah dan kehilangan muka. Pandangan demikian pada satu
sisi memang penting, tapi menyalahkan para diplomat atas kegagalan itu tidak
lagi fair. Dunia menjadi sangat
kompleks dewasa ini. Para aktor tidak memiliki kontrol terhadap banyak hal di
lingkungan internasionalnya seperti yang mereka inginkan. Yang dihadapi oleh
para diplomat bukan hanya diplomat resmi di negara lain tetapi pelbagai jenis
masyarakat baik yang terlibat dalam kegiatan diplomasi resmi atau pun tidak.
Mereka harus meyakinkan audience ini
dan tugas itu pun tidak bisa hanya diberikan ke para diplomat saja. Harus ada kerjasama atau
kolaborasi dengan pelbagai pihak yang relevan. Dari sini lah kemudian diperlukan
apa yang kita kenal dengan Diplomasi Publik.
Beberapa
definisi yang diberikan kepada DP menekankan tentang upaya meyakinkan
orang-orang di negara lain tentang nilai dan kepentingan suatu negara (Sharp, 2005: 106-123). Ini meliputi upaya pemerintah,
seperti dikatakan oleh Hans Tuch, untuk mengkomukasikan kepada publik asing tentang cita-cita
dan ide-ide, kelembagaan dan budaya serta tujuan dan kebijakan nasional dari
negara satu negara ke negara lainnya
(Melissen, 2005: 12). Beberapa ciri dari DP yang
penting adalah pertama ia beroperasi dalam lingkungan jaringan bukan dalam
sistem state centric yang hirarkis.
Kedua, target dari DP adalah publik di luar negeri, bukan public
affairs seperti di dalam negeri sehingga memerlukan cara yang berbeda. Ketiga DP
bukan lah komunikasi satu arah memasarkan informasi ke orang asing dan ke media
asing, tetapi
meliputi proses melibatkan (engaging)
audien asing. Contoh yang baik adalah ‘niche diplomacy’ yang dilakukan
Norwegia dan Kanada.
Tujuan DP
adalah jangka panjang, namun seringkali orang terjebak pada tujuan jangka
pendek agar pemimpin politik di negara target membuat keputusan yang mendukung
tujuan politik luar negeri kita. Dalam DP mungkin ini dilihat terlalu ambisius.
Karena itu lah kadang-kadang DP tidak perlu dikaitkan secara erat dengan
target-target politik luar negeri jangka pendek, tetapi untuk jangka menengah
dan panjang.
Tujuan DP adalah untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas, dan mempengaruhi
lingkungan perdebatan politik yang favorable
untuk negara kita.
Timbul pertanyaan juga tentang
apakah DP sama dengan propaganda. Hal ini susah dibedakan karena sebagian
tujuan propaganda sama dengan tujuan DP yaitu untuk mempengaruhi opini audien
melalui transmisi ide dan nilai-nilai (Melissen, 2005: 17). Namun propaganda secara historis
mempunyai kesan negatif, manipulatif, menipu dan memaksa dalam mempengaruhi opini
orang. Seperti akan dijelaskan di Bab II
kesan negatif
dari propaganda muncul karena
ia dalam sejarahnya digunakan oleh Nazi dan Komunis. DP juga
sedikit berbeda dengan nation branding dalam hal cakupan kegiatannya. Nation branding mempunyai
tujuan khusus dan mempunyai target yang jelas. Sementara DP lebih luas dan
belum tentu mepunyai target yang lebih spesifik. Walau demikian kegiatan re-branding
diharapkan dapat membangun identitas suatu negara paralel dengan kegiatan DP.
DP
merupakan fenomena baru namun pentingnya semakin disadari oleh banyak negara
terutama dengan bermunculannya budaya-budaya pop yang menguasai dunia dan pelbagai
kegiatan budaya, sosial dan politik masyarakat di negara lain yang berimplikasi
pada negara kita. Para diplomat dengan perkembangan demikian harus menyesuaikan
diri dan tidak lagi hanya bisa memainkan peran diplomasi tradisional. Kegiatan
masyarakat di negara lain ini tidak bisa diatasi hanya dengan diplomasi
tradisional. Kegiatan mereka ini bisa jadi sangat merugikan misalnya kegiatan gerakan
separatis, gerakan HAM dan gerakan pro lingkungan hidup yang didukung di suatu
negara jelas merugikan negara kita. Kemunculan soft power dalam HI
merupakan tes bagi kemampuan para diplomat ini (Melissen, 2005: 25).
Buku ini terdiri atas enam Bab yaitu Bab 1
Pendahuluan; Bab 2 Diplomasi; Bab 3 Diplomasi Publik; Bab 4 Diplomasi Budaya;
Bab 5 Paradiplomasi; Bab 6 Diplomasi Ilmu Pengetahun. Pembagian Bab ini mungkin
tidak mewakili keseluruhan kasus Diplomasi Publik. Kami sengaja memilih kasus
Diplomasi yang diluar mainstream
Kajian Diplomasi Publik pada umumnya karena menurut pandangan kami kasus-kasus
ini sangat penting, namun hilang dari perhatian kalangan akademik dan
mahasiswa. Diplomasi Budaya, Paradiplomasi dan Diplomasi Ilmu Pengetahuan yang
kami bahas dalam buku ini dianggap tidak mainstream tetapi
kepentingannya sejak lama sangat signifikan. Berikut ini adalah ringkasan bab
per bab dalam buku ini.
Bab 1 Pendahuluan berisi beberapa definisi dasar
tentang Diplomasi Publik, asal usul dan perkembangannya dan uraian mengapa DP
ini penting dalam studi HI Kontemporer.
Pada Bab 2 Diplomasi, kami membicarakan dasar-dasar
dan pekembangan Diplomasi dalam Studi Hubungan Internasional yang sangat
penting bagi para penstudi HI. Kami sengaja menguraikan secara lebih rinci perspektif
Diplomasi untuk memberikan gambaran kontinuitas dan perubahan dalam Diplomasi.
Dalam Bab ini perkembangan itu tidak hanya menyangkut teori tetapi juga aktor-aktor
yang terlibat dan perkembangan diplomasi yang asalnya hanya dilakukan oleh
negara sehingga kini dilakukan oleh banyak aktor lain. Dengan kata lain ada
perkembangan ke arah diplomasi multi jalur. Perkembangan ke arah diplomasi multi-jalur
(multi-track diplomacy) ini
menyebabkan banyaknya aktor termasuk publik untuk terlibat dalam diplomasi yang
kemudian dikenal dengan istilah Diplomasi Publik.
Pada Bab 3, tentang Diplomasi Publik, kami berusaha
menunjukkan keterbatasan Diplomasi tradisional yang menggunakan hard power dan perubahan orientasi
negara-negara ke arah pentingnya soft
power. Soft power ini dapat
diperkuat kalau negara-negara menggunakan DP untuk mewujudkannya. Dalam Bab 2
ini kami juga membahas perkembangan diplomasi publik dan perspektif teoritik
yang umum dipakai dalam pelaksanaan diplomasi publik tersebut. Kami juga
membahas perbedaan mendasar antara Diplomasi dan Propaganda. Selain dari itu
diuraikan juga perbedaan Diplomasi Publik antara model Amerika, Eropa dan Asia.
Pada bab 4 kami membahas Diplomasi Budaya. Pada
umumnya diplomasi budaya menekankan pertukaran produk-produk budaya seperti
kuliner, seni musik, fesyen dan tari-tarian. Dalam bab ini kami menjelaskan
bahwa Diplomasi Budaya merupakan bagian dari Diplomasi Publik yang tidak
sekedar pertukaran kesenian, tetapi juga menyangkut upaya untuk
mengkomunikasikan pemikiran, penelitian, jurnalisme dan wacana antara satu
negara dengan yang lainnya. Diplomasi Budaya karena itu berupaya membangun kedekatan
hubungan budaya dan informasi berkenaan dengan realitas sosial, ekonomi dan
politik antar dua atau lebih negara.
Dalam Bab 5 kami mendiskusikan Paradiplomasi, suatu
istilah diplomasi yang masih belum begitu popular bagi mahasiswa. Paradiplomasi
adalah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya program
otonomi dan keperluan daerah yang spesifik. Paradiplomasi tidak menimbulkan
masalah bila sejalan dengan diplomasi pusat, tetapi akan ada peninjauan bilamana
ia melanggar otoritas pemerintah pusat. Kegiatan paradiplomasi misalnya
menghasilkan sister city dan province city. Dalam level yang lebih
tinggi, pemerintah-pemerintah daerah dari negara yang berbeda bisa bersatu
untuk menggolkan kebijakan nasional misalnya tentang perubahan iklim yang tidak
kunjung diselesaikan oleh pemerintah pusat.
Bab 6 membahas Diplomasi Ilmu Pengetahuan (DIP). Ini
juga bagian dari Diplomasi Publik yang menempati posisi marjinal dalam
diplomasi tradisional. Banyak orang sangat optimis bila DIP dilakukan, maka ia
akan mengatasi pelbagai permasalahan manusia seperti kesehatan, kemiskinan,
kekurangan air dan makanan. Hal ini dimungkinkan dalam dunia kosmpolitan dimana
kepedulian orang tidak lagi pada negara tetapi pada kemanusiaan global. Dalam
bab ini kami juga mengingatkan bahwa ada sisi negatif dari DIP ketika ia
dijalankan oleh negara-negara untuk memperkuat teknologi persenjataan mereka
yang makin hari makin canggih dan bisa memusnahkan seperti senjata nuklir.
Selain itu DIP digunakan oleh negara-negara untuk tetap menguasai teknologi
dengan misalnya memasukkan International
Property Right (IPR) ke dalam kerangka perdagangan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Tindakan itu akan terus membuat terjadinya disparitas antara
negara maju dan negara berkembang.
Keseluruhan enam bab
tulisan ini diharapkan akan membantu mahasiswa dan para peminat studi HI untuk
memahami lebih lanjut peranan Diplomasi Publik dalam kegiatan internasional
suatu negara. Diplomasi Publik menjadi bagian yang sangat penting karena
kemajuan teknologi komunikasi dimana masyarakat di negara lain mendapat
informasi tentang negara kita dengan cepat. Mereka pun memberi reaksi
bermacam-macam terhadap perkembangan di Indonesia dari yang radikal misalnya
menolak satu kasus dengan melakukan demonstrasi sampai dengan yang mendukung. Keberhasilan
menggunakan Diplomasi Publik akan meningkatkan soft power suatu negara
dalam hubungan dengan negara lain. DIP misalnya akan memperkuat soft power
suatu negara di bidang pendidikan dan budaya. Negara itu akan menjadi rujukan
dalam hal pengetahuan, meningkatkan potensi kerjasama dan mengundang para pakar
dan penstudi untuk belajar di negara tersebut.