Akhirnya Ke Tanah Suci Juga (1)
Akhirnya saya pergi juga ke tanah suci. Pergi menunaikan haji adalah kewajiban bagi semua orang Islam. Tetapi pernahkah Anda benar-benar berfikir, berniat atau melakukan sesuatu untuk melaksanakan ibadah itu. Sepanjang pengetahuan saya dan berdasarkan pengalaman kawan2 di sekitar saya, sebetulnya kita tidak pernah serius memikirkan hal ini. Asumsinya adalah ah nanti saja, kapan-kapan kan bisa, ini kan kewajiban sekali seumur hidup. Alasan lain adalah belum ada panggilan, masih sibuk dan belum punya rezeki.
Setidaknya itu juga lah yang ada dalam benak saya. Saya berangan-angan untuk pergi kemana saja ke luar negeri, tetapi tidak ada angan-angan yang kuat untuk ke tanah suci. Alhamdulillah Tuhan mengabulkan hampir semua angan-angan itu. Berbagai negeri telah dikunjungi, -sesuatu hal yang tidak terbayangkan oleh anak kampung yang hanya punya beberapa helai baju untuk bermain dan bersekolah di waktu kecilnya (untung tak ada kewajiban ketat berseragam di sekolah waktu itu sehinga pakaian bisa dipakai berganti-ganti). Bahkan hampir setiap tahun, alhamdulillah ada kesempatan untuk melancong ke seberang negeri.
Sampai usia lebih 40 tahun, ke tanah suci sungguh tidak terangankan. Ia hanya kewajiban yang tertulis dalam rukun Islam. Beberapa tahun lalu, mungkin 10 tahun lalu kira-kira, orang yang selalu bersama saya dalam suka dan duka selama 18 tahun ini, merealisir niatnya sendiri untuk naik haji. Bersamaan dengan dia, saya pun ikut dibukakan tabung haji di sebuah bank. Saya sungguh tidak tertarik, dan hanya mengatakan kalau sudah dibuka tabungannya ya sudah. Tabungan pun tidak pernah ditambah. Dia lah yang menjaga tabungan itu agar tetap ada peluang pergi haji.
Orang yang saya sebutkan tadi yang tidak lain adalah istri saya akhirnya sudah cukup tabungannya untuk berangkat dan menanyakan kepada saya apakah saya juga akan menambah jumlah tabungan sehingga cukup untuk berangkat bersama-sama. Ketika itu muncul alasan klasik seperti kebanyakan orang bahwa saya belum siap. 'Kamu aja deh duluan, biar saya yang tunggu anak-anak saja', kataku kira-kira. Dalam benak saya, ini perkara mudah, kapan-kapan saja bisa. Naik haji saja koq cita-citanya serius banget.
Istri saya pun mendapatkan kuota dan akan berangkat sendiri. Ia telah mengatur semuanya bagi seorang perempuan yang akan berangkat tanpa muhrimnya (konsultasi ke kiai dsb tentang apa yang harus disiapkan). Pada tahun 2006 tahun istri saya akan berangkat haji, saya masih melanglang buana dan kali ini Tuhan mengizinkan saya pergi ke Kyoto selama enam bulan. Ada perisitiwa-peristiwa menarik di Kyoto Jepang yang akhirnya membawa saya untuk segera juga menunaikan ibadah haji dengan istri saya yang akan ditulis dalam bagian berikut tulisan ini.
Akhirnya saya pergi juga ke tanah suci. Pergi menunaikan haji adalah kewajiban bagi semua orang Islam. Tetapi pernahkah Anda benar-benar berfikir, berniat atau melakukan sesuatu untuk melaksanakan ibadah itu. Sepanjang pengetahuan saya dan berdasarkan pengalaman kawan2 di sekitar saya, sebetulnya kita tidak pernah serius memikirkan hal ini. Asumsinya adalah ah nanti saja, kapan-kapan kan bisa, ini kan kewajiban sekali seumur hidup. Alasan lain adalah belum ada panggilan, masih sibuk dan belum punya rezeki.
Setidaknya itu juga lah yang ada dalam benak saya. Saya berangan-angan untuk pergi kemana saja ke luar negeri, tetapi tidak ada angan-angan yang kuat untuk ke tanah suci. Alhamdulillah Tuhan mengabulkan hampir semua angan-angan itu. Berbagai negeri telah dikunjungi, -sesuatu hal yang tidak terbayangkan oleh anak kampung yang hanya punya beberapa helai baju untuk bermain dan bersekolah di waktu kecilnya (untung tak ada kewajiban ketat berseragam di sekolah waktu itu sehinga pakaian bisa dipakai berganti-ganti). Bahkan hampir setiap tahun, alhamdulillah ada kesempatan untuk melancong ke seberang negeri.
Sampai usia lebih 40 tahun, ke tanah suci sungguh tidak terangankan. Ia hanya kewajiban yang tertulis dalam rukun Islam. Beberapa tahun lalu, mungkin 10 tahun lalu kira-kira, orang yang selalu bersama saya dalam suka dan duka selama 18 tahun ini, merealisir niatnya sendiri untuk naik haji. Bersamaan dengan dia, saya pun ikut dibukakan tabung haji di sebuah bank. Saya sungguh tidak tertarik, dan hanya mengatakan kalau sudah dibuka tabungannya ya sudah. Tabungan pun tidak pernah ditambah. Dia lah yang menjaga tabungan itu agar tetap ada peluang pergi haji.
Orang yang saya sebutkan tadi yang tidak lain adalah istri saya akhirnya sudah cukup tabungannya untuk berangkat dan menanyakan kepada saya apakah saya juga akan menambah jumlah tabungan sehingga cukup untuk berangkat bersama-sama. Ketika itu muncul alasan klasik seperti kebanyakan orang bahwa saya belum siap. 'Kamu aja deh duluan, biar saya yang tunggu anak-anak saja', kataku kira-kira. Dalam benak saya, ini perkara mudah, kapan-kapan saja bisa. Naik haji saja koq cita-citanya serius banget.
Istri saya pun mendapatkan kuota dan akan berangkat sendiri. Ia telah mengatur semuanya bagi seorang perempuan yang akan berangkat tanpa muhrimnya (konsultasi ke kiai dsb tentang apa yang harus disiapkan). Pada tahun 2006 tahun istri saya akan berangkat haji, saya masih melanglang buana dan kali ini Tuhan mengizinkan saya pergi ke Kyoto selama enam bulan. Ada perisitiwa-peristiwa menarik di Kyoto Jepang yang akhirnya membawa saya untuk segera juga menunaikan ibadah haji dengan istri saya yang akan ditulis dalam bagian berikut tulisan ini.
No comments:
Post a Comment